Mengenal Sosok “Guru Tua”: Gerakan Dakwah, Pendidikan Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Imperialisme
Sayyid Idrus Bin Salim Aljufri atau yang dikenal dengan sebutan “Guru Tua”, merupakan Ulama pendiri Perguruan Islam Alkhairaat Palu Sulawesi Tengah. Lahir di Taris Hadramaut pada Senin 14 Sha’ban 1309 H/ 15 Maret 1891 M. Wafat di Palu Sulawesi Tengah, senin 12 Syawal 1389 H/ 22 Desember 1969 M. Secara genealogi, Guru Tua mempunyai silsilah keturunan dari marga Ba’alawi, sumber keturunan para Sufi dan Ulama besar di Hadramaut.
Nasab dan silsilahnya bersambung sampai pada Ali bin Abi Thalib (suami Fatimah al-Zahra), merupakan menantu Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah Habib Salim bin Alawi Aljufri (selanjutnya ditulis Habib Salim), dan ibunya Andi Sharifah Nur, berdarah Arab-Bugis, keturunan salah seorang Raja bergelar (Arung matoa, orang yang dituakan) dari Wajo Sengkang, Selawesi Selatan (Gani Jumat, 2012: 54-55).
Memahami perjuangan dan pemikiran Guru Tua, Prof. Azra menyebutnya sebagai bagian dari jaringan intelektual pesantren Haramain-Nusantara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kehadiran Guru Tua menjadi bagian penting dari kemajuan masyarakat Indonesia terutama yang berada di kawasan Indonesia Timur, bagaimana mendapatkan sentuhan dakwah, pendidikan, sosial dan spirit nasionalisme.
Komitmen Guru Tua tersebut menjadi lebih konkret ketika didirikannya madrasah Alkhairaat di Palu Sulawesi Tengah pada 11 Juni 1930. Nilai-nilai perjuangan dan gagasan Guru Tua tersebut, memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan masyarakat dalam dunia pendidikan, dakwah dan pengembangan sosial, hal ini dibuktikan dengan meluasnya jaringan madrasah Alkhairaat keberbagai kawasan, yang saat ini telah mencapai lebih dari 1.500-an, yang tersebar pada sekitar 12 Provinsi yang berada di kawasan Indonesia Timur. (Gani Jumat, 2012: 145)
Melacak dimensi nasionalisme Guru Tua, ada beberapa faktor yang cukup dekat dan mempengaruhi. Pertama, akar nasionalisme Guru Tua berasal dari ibunya, Andi Syarifah Nur yang merupakan warga Negara Indonesia (berdarah Arab-Bugis). Kedua, sebelum kedatangan Guru Tua di Palu Sulawesi Tengah, kawasan ini telah dikuasai oleh kolonial Belanda, sehingga untuk memulai aktivitas dakwah dan pendidikan, Guru Tua harus melaluinya dengan berbagai upaya dan perjuangan.
Kemudian, konsepsi nasionalisme Guru Tua tersebut begitu luas dan dinamis. Secara teologis misalnya, akar nasionalismenya tidak bisa dipisahkan dari konsep keislaman, seperti konsep hub al-watan min al-Iman (cinta tanah air sebagai bagian dari iman). Secara sosiologis, upaya Guru Tua mendirikan madrasah Alkhairaat di Palu Sulawesi Tengah, bukan semata-mata untuk proses belajar agama dan ilmu pengetahuan (ta’lim), melainkan bentuk nasionalisme dan perlawanan terhadap imperialisme bangsa asing yang membatasi bahkan tidak memberikan ruang pada masyarakat lokal saat itu untuk memperoleh pendidikan dan berpolitik.
Penjajah saat itu menginginkan agar masyarakat tidak memperoleh pendidikan serta mudah diperbudak. Bentuk penjajahan kolonial inilah yang membangkitkan semangat nasionalisme Guru Tua untuk memberikan perlawanan dengan cara memberikan pendidikan dan pencerahan melalui jalur keagamaan, agar masyarakat mampu bangkit dan terbebas dari berbagai bentuk imperialisme asing.
Terkait ekspresi nasionalisme Guru Tua tersebut, ada beberapa poin menarik yang menjadi titik temu atau sesuatu yang cukup relevan dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini.
Pertama, berdirinya lembaga pendidikan Alkhairaat adalah bentuk kecintaan Guru Tua terhadap masyarakat dan ilmu pengetahuan, agar kebodohan dan kemiskinan dapat terkikis dan masyarakat dapat hidup secara wajar.
Kedua, salah satu nilai-nilai ke-Alkhairatan adalah Islam yang moderat dan progresif, yang menjadi penyeimbang atau titik temu (common platform) dengan berbagai situasi sosial yang ada.
Ketiga, Guru Tua menyadari bahwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, merupakan anugerah terindah dari yang maha kuasa yang harus dijaga, disyukuri dan diperjuangkan.
Terkait Spirit nasionalime tersebut, dalam banyak sumber menjelaskan bahwa Guru Tua di luar mengajari nilai-nilai keagamaan, juga sering mengajari murid-muridnya dengan sya’ir-sya’ir yang bermuatan nasionalisme, sebagai bentuk penanaman cinta tanah air.
Sehingga, memaknai kemerdekaan bangsa Indonesia saat ini, tepat jika kita kaitkan dengan gagasan nasionalisme Guru Tua tersebut, maka ada banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah dan tanggungjawab kita bersama.
Kita menyadari bahwa perjalanan panjang bangsa Indonesia tidak akan pernah sepi dari berbagai tantangan dan dinamika sosial yang mengikutinya, mulai dari persoalan politik, kekuasaan, pendidikan, isu-isu keagamaan, keadilan sosial, hak asasi manusia, serta berbagai isu sosial lainnya.
Maka, nilai penting yang menjadi substansi dari perjuangan Guru Tua tersebut adalah sebagai masyarakat yang berada di tengah-tengah dimensi “kebhinekaan”, mampu menenggang segala bentuk kepelbagaian yang ada, dengan mengutamakan rasa kemanusiaan, solidaritas dan toleransi, serta mengisi perjalanan bangsa Indonesia tidak kering dari nilai-nilai spiritualisme, nasionalisme dan kebangsaan.
“Indonesia adalah rumah kita bersama”
Oleh: Djunawir Syafar